Dulu… saya sempat mengira bahwa saya adalah pecinta kopi. Seorang coffee lover.
Setahun lalu, saya mengira bahwa saya pecinta kopi hitam.
![]() |
Nikmatnya kopi tempur di Joker Cafe Jepara |
Suatu hari seorang perempuan Korea mewapri, meminta mengisi data sebagai penikmat kopi. Saya mengaku bahwa saya jarang meminum kopi yang bervariasi rasa. Cuma itu-itu saja. Jadi tak sesuai menjadi responden pecinta kopi.
Apa pasal?
Pandangan saya langsung berubah setelah mengikuti acara Brewery Berbagi yang diselenggarakan sebuah komunitas pecinta kopi di Jepara setahun lalu. 30 menit itu menjatuhkan saya dari anggapan sebagai pecinta kopi menjadi penikmat kopi hitam Kapal Api. Damm!
Jatuh memang tak seberapa sakit, tapi pengertian baru tersebut membuat saya jadi tak berani memasang tagline ‘Pecinta Kopi’ untuk branding pribadi.
Saya pengen tertawa sekaligus prihatin pada diri sendiri saat sulit menikmati legitnya kopi gayo kental tanpa gula yang disajikan. Sok nggaya banget saya. Celingak-celinguk ternyata memang tidak disediakan gula di sana.
![]() |
Kopi lasem |
Saya memang suka kopi hitam kental dengan sedikit manis. Rasanya lebih mantap. Tetapi lidah saya teracuni oleh kopi pabrikan yang jadi konsumsi harian. Saya kadang menikmati kopi – kopi lokal yang digiling kasar secara tradisional, tetapi kopi harian saya tetap sama. Akses memperoleh kopi daerah seperti kopi tempur, kopi lasem, kopi damarwulan, dsb dsb saya anggap sulit sendiri. Naaah… kan? Saya bukan pecinta kopi sejati.
Tapi tiap hari saya minum kopi hitam. Kadang dengan gula sedikit, cukup sering kopi manis. Ke mana pikiran saya membawa saat itu. Beda banget dengan kopi buatan suami dan anak lanang yang otentik karena takaran tetap. Beda pula rasanya dengan kopi Rumah Kartini yang meski merk sama tetapi rasanya bisa berbeda. Saking otentiknya sampai saya bisa menebak siapa yang membuat kopi yang disuguhkan.
Duh… saya melantur ke mana-mana.
![]() |
Kopi KPK Jember |
Jika ditanya, apakah saya kecanduan kopi hitam? Jawaban saya tak kalah tidak jelasnya.
Saya pernah menanyakan hal itu pada diri sendiri. Sepertiga diri saya menjawab iya, dua per tiga menjawab tidak. Mungkin sekadar denial, tapi saya sulit memulai hari tanpa kopi. Bangun tidur langsung mencium bau kopi dan jadi yang pertama kali masuk mulut. Buruknya saya. Padahal tahu bahwa air putih harus jadi yang pertama, dan harus minimal makan sesuatu dulu sebelum ngopi.
Bagaimana lagi… bau kopi yang menguar di udara membuat kaku leher berkurang. Pagi hari seorang ibu sangat berat sehingga perlu yang pahit-pahit. Hihihi
Paling berat adalah memastikan anak tidak terlambat berangkat sekolah. Cuma 1 kalimat, tapi jabarannya panjang mulai dari membangunkan sampai cium tangan. Kadang penuh dengan elusan dada karena anak kedua yang begitu santai menikmati pagi tetapi sulit dibangunkan pagi. Baru mandi saja sudah harus diketuk 3-5 kali. Pahit, kan pagi saya? Semoga teman-teman tidak begitu.
![]() |
Kopi dan saya |
Kopi menjaga kewarasan.
Kopi menenangkan
Kopi membantu proses menggali ide dan menuliskannya
Kopi sahabat terbaik
Kopi mengakrabkan.
Kopi juga identitas kota.
Kopi mencegah saya menyemil seharian.
Entah apa korelasinya, tetapi saya perhatikan jika saya berhenti minum kopi pagi, saya akan banyak menyemil. Bawaannya lapar terus
Makanya jika pergi ke luar kota, saya mencari kopi tubruk yang lokal saja.
Kelihatannya itu dulu posting ringan saya hari ini tentang saya dan kopi. Daripada lama tak diisi karena yang punya blog sedang tertimbun deadline. Sampai jumpa di-posting lain yang lebih baik.