Quantcast
Channel: Cakrawala Susindra | Catatan dan Opini Momblogger Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Meninggalkan Asal untuk Mendapat (h)Asil: Riwayat Legon Lele Karimunjawa Tahun 60-an Dituturkan oleh Mbah Maspan

$
0
0
Masih tentang misteri kepergian penduduk Legon Lele Karimunjawa pada tahun 1985, kali ini kami, tim ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa mendapat sumber yang lebih mengenal daerah ini. Mbah Maspan, seorang lelaki tua yang memiliki wawasan luas dan keinginan kuat untuk merubah keadaan. Hasil wawancara kali ini saya bagi menjadi dua, yaitu Kenangan akan Legon Lele Pada tahun 1960-an dan Sejarah asal-usul Legon Lele, termasuk nama aslinya pada abad 16 dan di mana mencari datanya pada posting 2 hari lagi. Harap sabar, ya... Dan untuk teman-teman di Karimunjawa yang ingin tahu sejarah desa/dukuh/pulau lainnya, harap sabar banget, karena kisah para tetua sangat menarik dan kadang harus dipecah jadi 2-4 tulisan.

Riwayat Legon Lele Karimunjawa Tahun 60-an, dituturkan oleh Mbah Maspan

Ini riwayat Legon Lele Karimunjawa pada tahun 1960-an di mata Mbah Maspan....

“Orang itu berpikir. Ingin lebih baik.” Begitu awalan yang diberikan Mbah Maspan saat bercerita tentang motifnya pindah ke Karimunjawa. Dia merasa hidupnya sebagai nelayan di Bulakbaru Jepara tidak akan berkembang. Kemiskinan terasa menghimpit. Ia telah memiliki tiga anak perempuan berusia 6 tahun, 4 tahun, dan 2 tahun. Pria kelahiran 1932 itu gelisah ingin mengubah nasib. Pak Saidi yang telah menjadi 1 dari 10 kepala keluarga yang tinggal di Legon Lele Karimunjawa mengajaknya ke pulau yang tanahnya masih luas dan siap digarap siapa saja. Pak Inggi, sebutan khas untuk kepala pemerintahan setingkat desa/kelurahan, mempersilakan para pendatang mengolah tanah dan meminta sertifikat girik tanah. Karimunjawa memiliki tanah yang subur dan ikan yang sangat melimpah. Kayu hutan dan batu di sana pun sangat laku di Jawa. 

Mendengar tentang hal ini, Maspan muda merasa bahwa tiket menuju hidup sejahtera telah berada di tangan. Ia pun membujuk istrinya agar mau ikut serta. “Kabar ceritane Karimunjawa kok gemah ripah loh jinawi. Yuk lungo Karimunjawa. Idep-idep yen ra krasan mengko teko balik sih,” katanya pada sang istri. Setelah beberapa kali diskusi, akhirnya mereka sepakat berangkat. Perjalanan 2 hari di kapal layar menuju Karimunjawa menjadi pengalaman tak terlupakan bagi semuanya.


Sampai di Karimunjawa, suami istri ini bekerja keras mewujudkan impian mereka. Sang suami nyaben (bekerja di kebun) dan menjadi pembalok kayu, sementara sang istri nderep (buruh tani) di sawah tetangga. Sesekali melaut atau menangkap ikan lele di sungai untuk lawuhan (lauk makan). “Pekerjaan apapun kami tidak malu,” kenangnya. Anak perempuan tertua, Maria, yang kenangannya telah saya tulis di posting sebelumnya, bertugas menjaga kedua adiknya yang masih kecil.

Usaha mereka tak sia-sia. Beberapa hektar kebun berhasil mereka buka. Sepetak tanah untuk rumah dan sepetak yang cukup luas untuk menanam padi akhirnya mereka miliki. “Nempil tangga,” katanya, yang artinya membeli sebagian dari tetangga. Kehidupan mereka lumayan berkecukupan. “Tahun 1967 – 1980-an, Karimunjawa sunyi senyap. Membuat manusia tidak kerasan. Makanan dan ekonomi tidak kecingkrangan,” tuturnya. Sumber air dan sumber makanan di Legon Lele sangat melimpah, namun butuh usaha yang lebih berat untuk menjualnya ke luar. 


“Saya termasuk orang kaya di sini. Kaya anak. Anak saya 9. 3 anak laki-laki dan 6 anak perempuan. Alhamdulillah masih mau saya openi sampai sekarang,” katanya lagi.

Jika ada yang membuat warga berduka adalah, akses jalan menuju Karimunjawa masih berupa jalur laut dan setapak di gunung. Anak-anak yang hendak sekolah harus naik-turun gunung dan melalui perjalanan selama dua jam. Mereka berangkat bersama ibu atau tetangga yang menjual hasil tani/berkebun mereka di pasar. Akses jalan melalui laut ini dibenarkan oleh Pak Parini dari CIkmas (kisahnya akan saya sampaikan di lain posting). Pak Parini yang menjadi petani di Cikmas mengaku pernah ikut menggarap sawah di Legon Lele, dan harus naik perahu mengelilingi setengah pulau Karimun untuk ke sana. Ia akan tinggal selama 1-2 minggu di Legon Lele untuk menggarap sawah, dan beberapa kali kembali ke sana dengan cara yang sama. Saat itu akses jalan Karimun – Cikmas belum ada. Masih banyak area yang terisolasi.

Kenangan buruk yang membuatnya paling terkenang adalah saat ada tetangga yang tiba-tiba sakit parah sehingga harus dibawa ke puskesmas pada tengah malam. Mereka memasukkan pasien ke dalam sarung lalu membawanya menggunakan bambu seperti saat membawa binatang buruan. Malam pekat dan jalan sangat licin. Mereka terpeleset. Pasien menggelinding ke tanah dan saat ditemukan sudah digigit ular (kemungkinan ular edor) sehingga tidak tertolong. Kematian karena ular ini cukup banyak. Belum lagi binatang-binatang liar yang membuat mereka sering gagal panen raya. Para anak dan istri pun gelisah ingin pindah.

Tahun 1985-an, seorang konglomerat datang dan menawarkan uang untuk mengganti tanah mereka. Bisa dikatakan, Pak C ini merupakan investor tanah yang pertama di kepulauan Karimunjawa dan berhasil membeli ratusan hektar dan beberapa pulau. Sampai saat ini, tanah yang dibeli tersebut masih dianggurkan oleh pemiliknya. 


Banyak yang menanggapi positif tawaran ini, meski harga yang ditawarkan antara Rp 3000,- sampai Rp 10.000,- per meter. Satu per satu penduduk pindah ke daerah Kapuran yang lebih dekat dengan Karimunjawa. (Daerah sekitar hotel Nirwana Karimunjawa). 

“Kulo niki ngintil buri, ngetutke pitikke. Pitikke bubar, gari jagone. Khawatir ada apa-apa dan daripada sendirian ditinggal keluarga,” katanya. Akhirnya mereka berhasil tinggal berdekatan.

“Pegawai PA PA (mungkin maksudnya P2PAPA) pernah bertanya mengapa kami meninggalkan tanah kami, dan jawaban saya adalah akses jalan yang tidak ada,” jawabnya ketika kami menanyakan kembali mengapa beramai-ramai meninggalkan Karimunjawa. Sebagai salah satu orang tertua di sana dan yang pandai berbicara, Mbah Maskan mengaku sering menjadi wakil masyarakat untuk berbicara dengan para pejabat rawuhan. Kami melihat kebenaran pengakuannya karena cara berceritanya yang santai, runtut, jelas dan sering membuat kami tertawa. 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Trending Articles