Quantcast
Channel: Cakrawala Susindra | Catatan dan Opini Momblogger Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Literasi Digital: Pentingnya Perlindungan Data Diri

$
0
0
Gaya hidup serba instan menjadi sebuah pilihan karena dianggap mewakili perubahan zaman. Gaya hidup tanpa sekat dan tanpa limitasi ruang dan waktu juga terus berevolusi, sehingga pertemuan, sekolah, maupun traveling sudah bisa dilakukan di depan meja. Contoh paling mudah adalah kunjungan reguler saya ke perpustakaan nasional untuk membaca dan meminjam buku, tanpa harus ke Jakarta. Atau sesekali mencari bahan di Museum Rijksmuseum melalui aplikasi Google Art & Culture. Saya pun telah mengunjungi Museum Louvre dengan aplikasi yang sama. Apakah itu artinya saya tak perlu ke sana? Tetap perlu dong, jika dana sudah mencukupi.


Saya sedang tidak ingin bercerita tentang studi saya daring, jadi, mohon maaf jika tidak saya lanjutkan cerita tentang belajar di seluruh dunia dari balik meja. Saya tergoda untuk ikut urun opini tentang literasi digital yang menjadi tema besar di KARNAVAL 2019 yang diadakan oleh Klub Blogger Buku (KUBBU) bersama Bakpacker Jakarta. Nama karnaval bukan berarti akan membuat arak-arakan seperti karnaval pada umumnya, akan tetapi sebuah akronim dari Karya Tahunan – Festival Literasi 2019). Kegiatan tahunan ini dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun Klub Blogger & Buku (KUBBU) yang ke-4. Selamat ulangtahun, ya.... Semoga selalu sukses, berhasil menyukseskan visi dan misi klub, serta terus memberi manfaat bagi masyarakat.



Tema literasi digital selalu menarik minat saya, untuk mengambil peran sebagai pendamping belajar. Saya pernah menjadikannya sebagai program kerja pribadi selama satu tahun. Saya beberapa kali mengisi saresehan dan atau workshop tentang internet sehat untuk orangtua murid dan di dinas. Saya menyadari betul bahwa masih sedikit orang yang mempunyai pengetahuan akan dunia digital secara memadai. Saya juga membuat sebuah kuliah online di Facebook dengan tema yang sama selama 4 hari, dengan harapan makin banyak orang yang menyadari pentingnya belajar memahami dunia yang mereka masuki secara sukarela dan ternyata cukup memabukkan seperti candu. Dunia yang satu ini sungguh memukau siapapun.  


Literasi digital yang telah saya lakukan dan ajarkan

Ilmu saya mungkin tak sebanyak teman-teman di kota besar yang bisa dengan mudah mengikuti event tentang literasi digital. Saya baru bisa membuat program sederhana untuk membantu para ibu melepas cemas melihat anaknya lekat dengan internet dan membuangkan materi konten dewasa di HP yang dipegang oleh anak. Bukan rahasia lagi bahwa anak-anak sekarang telah memaknai instan sebagai gaya hidup. Bermain game Mobile Legend sambil terus mencari tahu cara cheating game ini, tanpa tahu jika banyak jebakan batman berupa konten dewasa dan malware di sana. Nama kegiatan tersebut adalah Sepekan Kuliah Online "Literasi Gawai" dan diadakan di grup komunitas yang saya ikuti.

Pekan Literasi Gawai yang pernah saya lakukan

Begitulah. Di kota Jepara yang kecil ini, para ibu hanya bisa gelisah melihat anak-anak duduk berkerumun di sekitar bangunan berwifi. Atau hanya bisa mengomel saat melihat anaknya di rumah sering memegang gawai untuk menonton Youtube maupun bermain Mobile Legend. Atau hanya marah besar saat melihat ada sisipan konten dewasa di HP yang dipegang anaknya. Hanya... kata ini saya pilih karena memang secara substansi masih disepelekan oleh para ibu di sekitar saya yang cenderung pasrah dengan keadaan karena tak tahu bagaimana cara mengubahnya. Menjauhkan anak dari HP dengan paksaan akan berakhir dengan keributan dan ujung-ujungnya akan memulai dari awal; memberikan HP tersebut kembali. Karena menjauhkan anak dari HP perlu ilmu dan kreativitas. Di sini, ibu harus pandai mengalihkan perhatian anak dari HP, mencarikan tugas kreatif agar anak tidak bosan mengerjakan, juga mencari teman senasib yang mau diajak bertukar ide tentang bagaimana cara membuat anak tidak menggunakan HP sebelum waktunya. 

Literasi digital itu apa?

Diamini atau tidak, saya tetap berpendapat bahwa perlu orang-orang secara individu maupun berkelompok untuk memberikan edukasi kepada keluarga, teman dan kenalan sekitar tentang pengetahuan umum mengenai kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) agar mereka dapat menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengkomunikasikan konten/informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal. Kemampuan ini disebut literasi digital. Kemampuan ini ambyar berkeping-keping saat musim pemilu lalu, karena ternyata kemampuan mengevaluasi konten/informasi bertubrukan dengan kehendak hati akan dipimpin oleh siapa. 

Begitu banyak pekerjaan rumah terkait literasi digital. Contoh yang saya sebutkan di atas hanya bagian kulitnya saja. Masih ada perlindungan data diri, keamanan daring (online), perundungan dan penipuan secara daring, termasuk hal kebebasan berekspresi dan hak kekayaan intelektual. Tak berlebihan jika kemudian ICT Watch mengusulkan kerangka literasi digital Indonesia. 

Kerangka literasi digital Indonesia

1. Proteksi atau safeguard, berupa usaha memberikan pemahaman tentang perlunya keselamatan dan keamanan berupa perlindungan data pribadi (personal data protection), keamanan daring (online safety & security) dan privasi individu (individual privacy). Upaya proteksi ini perlu dilakukan untuk menghadapi ekses dunia digital berupa perundungan (cyber bully), penguntitan (cyber stalking), kekerasan (cyber harassment) dan penipuan (cyber fraud).

2. Hak-hak (rights) dasar yang harus diketahui dan dihormati oleh para pengguna internet. Hak tersebut berupa kebebasan berekspresi yang dilindungi (freedom of expression) dan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) yang dibagi dua lagi yaitu hak cipta dan hak pakai. Jadi, pengguna yang meminjam konten harus memastikan telah mematuhi lisensi Creative Commons (CC). Masih ada hak yang harus dipahami agar tidak sampai melanggar hukum, yaitu aktivitas sosial (social activism) berupa kritik sosial melalui hashtag tertentu di media sosial seperti Twitter, misalnya, atau membuat dan mengedarkan petisi online.



3. Pemberdayaan (empowerment) yang berarti menggunakan internet untuk lebih produktif dan lebih banyak menghasilkan karya atau uang. Kerangka yang satu ini lebih banyak menekankan pada produktivitas pemanfaatan TIK dan atau produk digital, sehingga mendorong makin banyaknya jumlah jurnalisme warga (citizen journalism) yang berkualitas, kewirausahaan (entrepreneurship), juga munculnya start up baru. 

Pokok bahasan di atas sudah agak canggih dan terlalu luas dari poin yang ingin saya sampaikan, yaitu pentingnya mengamankan informasi diri, atau dalam literasi digital di sebut dengan Perlindungan Data Pribadi (PDP). Tak apa, ya, kerangka di atas dijadikan pengetahuan saja, karena toh tetap harus kita ketahui dan pahami, langkah apa yang harus kita lakukan terkait aktivitas virtual kita. 

Perlindungan data pribadi

Perlindungan data pribadi atau PDP adalah salah satu yang sedang meresahkan saya. Sebagaimana pembuka saya di atas yang menyatakan bahwa gaya hidup serba instan, tanpa sekat, tanpa limitasi ruang dan waktu telah menjadi keseharian kita. Saat pertama mendaftar di Facebook, kita menyetorkan sejumlah data yang diminta demi sebuah akun. Hal yang sama selalu terjadi saat kita membutuhkan produk-produk internet. Dengan kecanggihan teknologi internet, facebook dan media sosial dapat mengingatkan kita pada jejak digital pada tahun sebelumnya yang kita ‘titipkan’ tanggal yang sama. Setiap saya keluar rumah, Google Local Guide akan segera memberi saran agar saya mengunggah foto dan informasi lokasi yang saya datangi. Facebook pun tak mau kalah. Nama-nama teman yang dekat dengan saya akan muncul di pemberitahuan. Hal-hal semacam ini, memang membahagiakan namun juga membuat saya berpikir, berarti di mana pun saya berada, Google dan Facebook tahu. Dari keduanya, aktivitas saya juga dapat dipantau oleh kepolisian jika saya menjadi pelaku kejahatan. Di mana privasi saya tergadaikan?



Terkait perlindungan data pribadi juga, sempat terjadi persoalan pada saat pemilu, saat membahas tentang pemilih. Jumlah dan data pemilih di KPU tidak sama dengan data di Disdukcapil, misalnya. Apakah sama dengan data yang di kantor KPP dan di dinas kesehatan? Pemerintah sendiri, melalui pengakuan Donny B.U., Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet, mengakui bahwa perlindungan data pribadi tersebar setidaknya di 32 undang-undang. Masing-masing saling tumpah tindih karena tidak terintegrasi dalam konsep besar perlindungan data pribadi. 

Pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Kondisi ini membuat kita sangat memerlukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Menkominfo Johnny G Plate menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) ditargetkan selesai dan diajukan ke DPR pada bulan Desember ini, agar dapat segera digodok di departemen perwakilan kita di Senayan. Diharapkan, rancangan tersebut bisa menjadi undang-undang pada bulan Oktober 2020. Hal ini harus menjadi prioritas karena sebagian besar negara di dunia ini sudah memiliki undang-undangnya.



Lazimnya, kita mudah percaya dan memberikan data pribadi saat menggunakan aplikasi tertentu. Saling berbagi nama lengkap, alamat surel, nomor kontak, akun media sosial, bahkan nomor rekening sering terjadi dalam pergaulan era digital. Layanan aplikasi atau belanja online sering meminta berbagai data penggunanya dengan beragam tujuan. Salah satunya untuk memastikan bahwa identitas penggunan layanan benar-benar nyata. Namun, tidak ada jaminan bahwa data-data pribadi tersebut aman dari penyalahgunaan. Nomor kontak yang tersebar bisa menjadi target sasaran penipuan lewat telepon. Nomor rekening bank pun bisa menjadi sasaran peretasan. Apalagi alamat rumah yang bisa menjadi target perampokan. Data bank bisa digunakan untuk tindak kejahatan seperti membobol kartu kredit dan penipuan lainnya. Inilah mengapa perlindungan data pribadi sangat penting dan harus diprioritaskan. Data pribadi yang jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab, bisa disalahgunakan untuk tindak kejahatan sebagaimana saya sebutkan di atas. 

Langkah selanjutnya yang penting untuk kita lakukan adalah, memahami apa saja data pribadi yang harus dijaga sebagai sebuah aset penting. Seperti sebuah lidi, mungkin jika satu data diri akan sulit membayangkannya sebagai sebuah aset. Namun jika 100 aset atau lidi digabungkan, baru akan terasa sekali. Beberapa tahun lalu polisi pernah mengungkap kasus jual beli data pribadi yang dilakukan oleh seorang oknum pegawai outsourcing bank. Setiap sekitar 300 data pribadi dijual dengan harga 3 juta rupiah. Data ini dibeli dan digunakan untuk membobol 15 kartu kredit dengan total kerugian sekitar 300 juta rupiah. Data yang digunakan untuk melakukan kejahatan ini adalah data berupa nomor kartu tanda penduduk, NPWP, dan nama keluarga (orangtua, suami/istri, anak). Sekarang ini, dengan maraknya pinjaman online, data di atas bisa digunakan untuk penipuan berupa meminjam uang secara online dan tahu-tahu kita ditagih dan dibebani pembayaran atas pinjaman yang tak pernah kita lakukan. Seram sekali, bukan?

Apa saja, sih, data pribadi yang sebaiknya tidak kita sebarkan di media sosial secara sukarela?

Data pribadi yang harus dilindungi

1.Nomor ponsel
2.Nomor rekening
3.Tanggal lahir





4.Nama lengkap orangtua
5.Alamat 
6.Riwayat kesehatan
7.Riwayat transaksi pembelanjaan online


8.Riwayat transaksi perbankan
9.Data sekolah anak
10.Password yang digunakan


Bagi penjual secara daring seperti saya, tak dapat menghindari memberikan alamat surel, alamat rumah, nomor HP/WA, juga nomor rekening. Akan tetapi data lainnya saya simpan rapat sebagai bagian dari proteksi pribadi yang dapat saya lakukan sendiri. Saya juga tidak sembarangan memberikan izin mengakses sebuah aplikasi. Oleh karena saya memperlakukan akun  email dan akun Facebook sebagai gerbang memasuki akun media sosial lainnya, maka saya memperlakukan perlindungan ganda pada dua akun tersebut, yaitu verifikasi dengan nomor HP dan verifikasi teman. Jadi, kapanpun ada aktivitas mencurigakan, saya akan selalu diberitahu dan diminta konfirmasi. 

Kiranya saya cukupkan sekian dulu, artikel tentang literasi digital dan perlindungan data pribadi, yang secara khusus saya tulis untuk menyemarakkan #KARNAVAL2019 yang diadakan oleh Klub Blogger Buku (KUBBU) bersama Bakpacker Jakarta. Sekali lagi, selamat ulang tahun yang ke-4 untuk KUBBU! 


Sebelum saya akhiri, izinkan saya mengutarakan sejumlah harapan terkait literasi digital. Saya harap, pemerintah pusat serius memprioritaskan regulasi tentang perlindungan data pribadi. Saya juga berharap apa yang saya lakukan dalam melindungi data diri sendiri sudah benar. Dan, harapan terbesar saya adalah, tingkat literasi digital di Indonesia terus meningkat. Mulailah dari kita sendiri. Lakukan literasi digital dari keluarga, merembet ke tetangga, dan biarkan pengetahuan bermanfaat ini terus menyebar ke seantero nusantara, agar kita semua dapat berinternet dengan sehat. 


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c3962e01a4/perlindungan-data-pribadi-tersebar-di-32-uu--indonesia-perlu-regulasi-khusus/

Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Trending Articles