Quantcast
Channel: Cakrawala Susindra | Catatan dan Opini Momblogger Indonesia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Sejarah Hari Ibu Di Indonesia

$
0
0
Di Indonesia, tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Maka tak heran jika ucapan Selamat Hari Ibu berseliweran di beranda jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Warna-warni ungkapan cinta kasih ditulis dengan indah. Saya salah satunya. Iya, saya salah satu ibu yang mengekspresikan bahagia karena Indonesia memiliki peringatan khusus untuk kami.

Namanya peringatan, pasti ada kontroversinya. Apalagi zaman sekarang, apa sih yang tidak dibuat heboh. Yang mengejutkan sebenarnya adalah mereka yang tidak suka adanya peringatan ini menyamakan Hari Ibu dengan kegiatan gereja, bahkan menyambung (entah dengan benang apa) peringatan ini dengan tradisi Pagan. Mungkin sudah saatnya kita menguri-uri sejarah perempuan di negara kita sendiri. Karena ketika menulis ini, jujur, saya jadi ingat pada kontroversi peringatan Hari Kartini pada tanggal 21 April. 

Presiden pertama kita, Ir Soekarno pernah mengingatkan,“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Dalam sejarah perempuan Indonesia, nama Kartini layak disebut. Wanita Jepara ini meninggalkan warisan berharga berupa sekolah wanita yang tanpa memandang derajat (kebangsawanan) sebelum meninggal pada tahun 1904. Pada masanya, hanya anak bangsawan yang boleh bersekolah. Itupun masih pula direndahkan karena keturunan Belanda bagaimanapun tetap lebih tinggi kastanya. Sangat sedikit priyayi yang menyekolahkan anak perempuannya. Kesempatan perempuan pribumi bersekolah nyaris tidak ada. Sekolah perempuan yang digagas Kartini menjadi oase di kekeringan pendidikan di Hindia Belanda. Setelah kematiannya, Sekolah Kartini tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Bertahun kemudian muncullah sejumlah gerakan perempuan yang tercatat sejarah. Jakarta 1912, berdiri organisasi perempuan pertama Indonesia bernama Putri Mardika berkat bantuan Budi Utomo. Setelah itu, organisasi perempuan tumbuh dengan cepat di kota-kota besar di (pra) Indonesia seperti Wanudyo Utomo, Aisiyah (keduanya dari organisasi), dan Wanito Mulyo, Wanito Katholik, Wanito Utomo, dan lain-lain yang 30 di antaranya mengadakan konggres perempuan yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928.

Hasil keputusan Konggres Perempuan Pertama di Indonesia: 
1.  Mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan.
2. Pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan) dan segeranya.
3. Memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds.
4. Mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak.

Konggres yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 ini sempat hampir dibubarkan oleh Belanda dan dijaga sangat ketat. Apalagi pada rapat terbuka, kata Merdeka berkali-kali dikumandangkan bersama. Konggres ini menjadi cikal bakal konggres perempuan selanjutnya. Meskipun PR para perempuan Indonesia masih tetap banyak, sudah selayaknya jika kita sepakat dengan Dekrit Presiden No 316 tahun 1953 yang meresmikan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu di Indonesia. Pemilihan tanggal disesuaikan dengan sejarah kesadaran perempuan Indonesia pada kewajibannya berbangsa dan bernegara, termasuk di antaranya adalah kesadaran bahwa generasi yang cerdas berasal dari ibu yang pintar. Sama seperti kita seharusnya menerima Keputusan Presiden Republik Indonesia N0 108 tertanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahirnya sebagai Hari Besar yang dikenal sebagai Hari Kartini. Kedua peringatan yang berkaitan erat dengan wanita ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan agama dan kepercayaan sehingga jangan sampai mencibir apalagi mengucap haram karena salah paham. 

Karena saya masih ingin meneruskan argumentasi saya, akhirnya saya memuaskan rasa penasaran dengan mencari bukti hari peringatan lain di Indonesia yang tidak berhubungan langsung dengan tokoh wanita. Saya mencari-cari dekrit Presiden Republik Indonesia yang berkaitan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional. Ternyata saya menemukannya di artikel mengenai Ki Hajar Dewantara yang menjadi Menteri Pendidikan pertama di Indonesia. Surat keputusan Presiden RI no 305 tahun 1959 tertanggal 28 Mei 1959 menjadi bukti sejarah peringatan Hari Pendidikan Nasional Indonesia. 

Sampai di sini, mungkin masih ada Mbak-Mbak dan Mas-Mas yang masih menolak peringatan hari ini sebagai Hari Ibu – meski saya harap berubah sikap setelah membaca sejarahnya. Saya ingin menambahi bahwa memperingati Hari Ibu tidak hanya dengan membuat ucapan di jejaring sosial. Momen ini menjadi momentum yang sangat pas untuk mengingat kembali sejarah wanita yang tercecer, terlupa oleh sibuknya dunia kita. Memiliki hal kecil untuk dirayakan meski berupa telpon, ucapan sayang, hadiah, termasuk silaturrahmi. Hal-hal remeh yang bisa menjadi langka bagi sebagian orang. Tetapi itulah seni hidup. Semoga tulisan sederhana ini sedikit mencerahkan.

Selamat Hari Ibu bagi teman-teman yang memperingatinya, dan selamat membaca bagi teman-teman yang tidak memperingatinya.

Sumber:
http://wartafeminis.com/2007/03/14/22-desember-1928perempuan-bersatu-melawan-kekerasan-perempuan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini_School


Viewing all articles
Browse latest Browse all 760

Trending Articles