Nostalgia Putih Abu? Wah... kebetulan sekali beberapa hari ini saya dan suami sering tertawa terbahak mengenang masa sekolah kami dulu. Yah... sebetulnya saya sih, yang entah mengapa mengingat sedikit kenakalan berjamaah di masa SMA kelas 1 dan masih tertawa karenanya. Suami lebih banyak mendengarkan. Entah mengapa dia tak banyak bercerita masa putih-biru atau putih-abu, meski dia cukup dekat dengan mereka dan sering berhaha-hihi di grup WhatsApp. Dia beruntung, sungguh.... saya tidak punya grup WhatsApp, bahkan grup Facebook yang saya gagas juga masih senyap karena hanya saya yang facebooknya aktif. Nah lho.... Gak enak banget kan berorasi sendirian tanpa penonton?
![]() |
Siap bernostalgia putih abu? |
Ingin bernostalgia masa SMA dengan saya? Ayo ah... saya punya banyak cerita seru selama 3 tahun yang saya rangkum jadi 1. Kita mulai
Masa SMA saya terbagi menjadi 3 fase.
Fase 1: kenakalan remaja
Fase 1 hanya berlangsung 6 bulan. Saat itu saya masuk di kelas 1.2. Perlu teman-teman ketahui, SMA saya waktu itu menerima 8 kelas per angkatan. Ketika masa saya masuk, penyortiran kelas berdasarkan nilai. Kelas 1.8 adalah pemilik nilai terbaik dengan saringan paling rapat. Semakin turun, nilai NEM yang dimiliki semakin rendah. Saya masuk kelas 1.2, itu artinya nilai masuk saya sangat pas. Dengan sistem pembagian kelas ini, tahu dong jika persaingan nilai di kelas 1.8 dan kelas 1.2 sangat berbeda. Apalagi kelas 1.1. Saya stop sini saja penjelasannya, mari lanjut bernostalgia seru dengan saya.
Di 3 bulan pertama masuk SMA ini, kelas kami pernah dihukum berdiri tegak menghormat ke bendera merah putih yang berkibar di atas tiang bendera. Tak tanggung-tanggung... jam 11 siang. Kebayang dong panasnya? Apa sih kesalahan kami?
![]() |
Kenakalan berjamaah, saya pernah melakukannya |
Kesalahan kami cukup fatal. Saya ingat saat itu kami ulangan mapel ekonomi. Kami menyontek berjamaah. Buku kami letakkan di pangkuan ketika mengerjakan soal ulangan. Ketika guru berkeliling, kami buru-buru memasukkan ke dalam gelodok (laci) meja. Begitu seterusnya. Suasana kelas hening sehingga ketika terdengar sebuah buku jatuh, kami tahu apa artinya. Sontak seluruh kelas tertawa tertahan. Tak berapa lama kemudian, suara pluk buku jatuh terdengar beberapa kali dan tawa kami semakin keras. Buku saya termasuk yang jatuh saat itu. Itulah alasan kami dihukum berdiri di terik agar menghayati arti di balik menghormati bendera merah putih. Apakah kami kapok? Ya dan tidak.... masih banyak edisi kompak versi kelas 1.2. Kami beberapa kali membuat kesal guru dengan bolos berjamaah. Ah ya... daftar kekompakan hitam berjamaah kami yang tak perlu dilaporkan. Karena kenangan itu membawa ke kenangan buruk setelahnya.
Hari ketika kelas dioplos demi keseragaman nilai pencapaian kelas adalah hari paling sedih bagi saya ketika SMA. Saya menangis diam-diam karena merasa hak berteman saya dirampas. Saya dipindah di kelas 1.7.
Fase 2 Masa suramnya SMA
Seperti yang saya ceritakan di atas, hari saya masuk kelas 1.7 adalah hari di mana kenakalan SMA saya mati. Saya jadi murid pendiam dan hanya fokus belajar. Teman di kelas 1.7 sampai 2.7 kurang memberi banyak kenangan. Mungkin karena saya gagal move on, tetapi masa itu seperti kaset kosong yang tak menampilkan gambar apapun kecuali saya yang mulai sibuk di PMR dan sibuk belajar. Saya tidak mengingat kenangan apapun di kelas ini, dan rasanya aneh (bahkan bagi saya). Yang paling saya ingat saat itu adalah, saya menjadi pemilik absen tanpa alasan tertinggi ketiga. Prestasi yang mengerikan. Tetapi nilai sekolah saya lebih baik daripada kelas sebelumnya. Sedihnya, saya tak memiliki best friend karena teman sebangku saya juga seperti saya dan lebih sering bermain di kelas ex teman sebangkunya di kalas 1.3. Kompak gagal move on-nya. hehehe
1,5 tahun yang gagal saya ingat kecuali bisa pinjam pansieve-nya Dumbledore. Ah ya.. di fase ini, saya memilliki kenangan yang saya ingat, yaitu ketika menjelang pindah kelas, kami berkemah di Gedong Songo secara mandiri. Ini pertama kali saya berkemah di alam gunung meski tidak naik ke puncak.
![]() |
Ada apa dengan fase ini, saya sulit mengingatnya |
Fase 3: masa show off lagi
Masuk ke kelas 3 Bahasa adalah pilihan terbaik yang saya pilih. Saya memasuki kelas yang sangat saya senangi. Belajar lebih dalam tentang bahasa Indonesia dan Inggris, belajar 2 bahasa baru yaitu Arab Melayu dan bahasa Perancis. 4 bahasa yang membuat saya jatuh cinta pada sekolah kembali. Apalagi porsi pelajaran bahasanya sangat banyak. Hampir setiap hari belajar bahasa membuat gairah sekolah saya naik drastis. Saya tidak pernah bolos lagi, dan nilai saya meroket. Jika di kelas sebelumnya nilai saya hanya di level cukup memuaskan, berbeda dengan di kelas 3. Saya menjadi siswa berprestasi. Saya disayang guru, mengikuti lomba-lomba, dan nilai saya tak jauh dari 10. Itu adalah masa terbaik saya di SMA.
![]() |
Api belajar dan berprestasi terpantik |
Kok saya tidak bercerita tentang cowok yang ditaksir?
Hahahaha... saya memang tak punya pacar atau gebetan di kala SMA. Waktu SMA memang saya kadang melihat ke arah 2 meja samping kanan saya karena ada 2 cowok ganteng yang saya suka melihatnya. Tapi hanya sebatas itu sih. Suka melihat 2 cowok ganteng dikumpulkan jadi 1, tapi saya tak memiliki perasaan suka yang berdesir. Ketika salah satunya menjadi best friend di kampus (dan sampai sekarang masih jadi best friend saya karena punya hobi sama dengan suami), itu juga bukan karena naksir. Kok saya tahu? Beritahu nggak ya? Hahahahaha....
Oke deh saya beritahu.
Sejak SD saya sangat suka baca buku. Sejak SMP, saya punya target seminggu minimal baca 10 buku. Ketika SMA pun begitu, meski target harus saya turunkan jadi 7. Buku-buku di SMA lebih banyak yang tebal, dan pelajaran SMA lebih banyak. Nah.. dengan target seperti itu, saya pastinya banyak bersinggungan dengan novel cinta yang lebih dewasa dari usia saya. Makanya, cowok SMA jauh dari imaginasi cinta saya. Jauuuh sekali... Sesekali saya berharap ada pangeran ganteng, mapan dan kaya yang menyatakan cinta, tetapi saya tahu itu hanya khayalan belaka. Apalagi jika sosok yang muncul si ganteng ini. Tahu siapa dia?
Saya lebih suka menyelesaikan sekolah dan menetapkan target baru, yaitu menjadi penulis fiksi. Hohoho.. cita-cita yang belum tercapai sampai sekarang. Waktu itu, tak ada target kuliah karena saya termasuk siswa miskin. Target saya sederhana, lulus kuliah, kerja, beli mesin ketik, dan menulis. Pacar? Calon suami? Mereka bisa menanti. Saya sudah punya dunia fantasi sendiri melalui buku-buku yang saya baca. Apalagi saat itu saya punya harapan ingin keliling dunia. Ketika ada informasi pekerjaan di kapal Star Cruise, saya diam-diam mencari informasinya. Saya harus mengenal dunia jika ingin jadi penulis hebat. Itulah kesimpulan saya ketika kelas 3 SMA.
Saya menunggu lamaran cowok ganteng ini |
Sayang... impian itu kandas karena ibu marah besar. Beliau melarang keras impian saya, dan sebagai ganti “keliaran - jika bisa dikatakan demikian”, saya dikuliahkan di jurusan Bahasa Perancis UNNES oleh saudara saya dengan pesan, setelah lulus harus bekerja dengan mereka. Saya yang ingin lari dari rumah langsung setuju
Dan edisi Putih-Abu pun selesai dengan segala putih-abunya. Yah.... bagaimana pun, masa itulah yang membentuk saya dan menjadi dasar setiap kesempatan yang saya pilih. Putih abunya kehidupan remaja, adalah masa lalu yang kadang boleh kita tengok untuk belajar, tetapi tidak untuk tinggal di dalam kenangan. Yang jelas, selama persiapan dan ketika menulis ini, saya sering tertawa sendiri, mengingat betapa labilnya emosi remaja, termasuk saya.
Dan edisi Putih-Abu pun selesai dengan segala putih-abunya. Yah.... bagaimana pun, masa itulah yang membentuk saya dan menjadi dasar setiap kesempatan yang saya pilih. Putih abunya kehidupan remaja, adalah masa lalu yang kadang boleh kita tengok untuk belajar, tetapi tidak untuk tinggal di dalam kenangan. Yang jelas, selama persiapan dan ketika menulis ini, saya sering tertawa sendiri, mengingat betapa labilnya emosi remaja, termasuk saya.
Kamu punya kenangan putih – abu yang ingin dibagi? Bisa dimulai di sini, atau bisa ikuti Giveaway Nostlagia Putih-Abu Mbak Arina.